Minggu, 05 Februari 2012

Kajian Keberadaan, Fungsi, dan Peran Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia

Kajian Keberadaan, Fungsi, dan Peran

Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia[1]

Oleh: Dr. Budiman N.P.D Sinaga,S.H.,M.H.[2]

Lembaga Negara yang dinamakan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD) mulai dikenal sejak Perubahan Ketiga Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) pada November 2001. Gagasan dasar pembentukan DPD adalah keinginan untuk lebih mengakomodasi aspirasi daerah dan sekaligus memberi peran yang lebih besar kepada daerah dalam proses pengambilan keputusan politik untuk hal-hal terutama yang berkaitan langsung dengan kepentingan daerah. Keinginan tersebut berangkat dari indikasi bahwa pengambilan keputusan yang bersifat sentralistik pada masa lalu ternyata telah mengakibatkan ketimpangan dan rasa ketidakadilan bahkan ancaman keutuhan wilayah negara dan persatuan nasional. Keberadaan unsur Utusan Daerah dalam keanggotaan MPR RI selama ini (sebelum dilakukan perubahan terhadap UUD 1945) dianggap tidak memadai untuk menjawab tantangan-tantangan tersebut.

Akan tetapi keberadaan DPD ternyata tidak serta merta dapat mengatasi berbagai masalah pada masa lalu. Ada berbagai sebab yang diduga menjadi kendala DPD, antara lain fungsi DPD yang sangat lemah terutama jika dibandingkan dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Dalam banyak hal DPD dianggap hanya sebagai pelengkap DPR karena tidak memiliki kekuasaan yang riil. Sehubungan dengan kenyataan ini selanjutnya dalam tulisan ini akan dilakukan kajian terhadap DPD dari aspek hukum terutama Hukum Tata Negara dengan harapan dapat ditemukan berbagai masalah dan alternatif penyelesaian.

Sehubungan dengan itu, pertama-tama perlu diketahui dulu mengenai pengertian dari Hukum Tata Negara. Menurut J.H.A Logemann, Hukum Tata Negara adalah Hukum yang mengatur organisasi negara. “Het staatsrecht als het recht dat betrekking heeft op de staat –die gezagorganisatie- blijk dus functie, dat is staatsrechtelijk gesproken het ambt, als kernbegrip, als bouwsteen te hebben.” Bagi Logemann, jabatan merupakan pengertian yuridis dari fungsi sedangkan fungsi merupakan pengertian yang bersifat sosiologis.[3] Sehubungan dengan itu kajian dari aspek Hukum Tata Negara terhadap DPD dapat dilakukan dengan mengkaji fungsi DPD.

Fungsi Badan Legislatif

Istilah badan legislatif atau legislature mencerminkan salah satu fungsi badan itu, yaitu legislate atau membuat peraturan perundang-undangan atau undang-undang. Nama lain yang sering dipakai ialah assembly yang mengutamakan unsur “berkumpul” (untuk membicarakan masalah-masalah publik). Nama lain lagi adalah parliament, suatu istilah yang menekankan unsur “bicara” (parler) dan merundingkan. Sebutan lain mengutamakan representasi atau keterwakilan anggota-anggotanya dan dinamakan people’s representative body atau Dewan Perwakilan Rakyat.[4] Dengan demikian dapat dikatakan bahwa istilah legislature, assembly, parliament, people’s representative body, badan legislatif, parlemen, dewan perwakilan rakyat, badan perwakilan rakyat, dan lembaga perwakilan rakyat pada hakikatnya sama atau setidak-tidaknya dalam tulisan ini dianggap sama sehingga penggunaan secara bergantian akan bermakna sama.

Secara umum lembaga perwakilan rakyat ada dua macam, yaitu sistem satu kamar (unicameral system) dan sistem dua kamar (bicameral system). Tetapi tidak menutup kemungkinan sistem perwakilan diselenggarakan melalui lebih dari dua kamar (multycameral system).[5]

Adapun fungsi parlemen meliputi fungsi legislasi atau fungsi pengaturan (regelende functie), fungsi pengawasan (control), dan fungsi representasi (representation). Fungsi pengaturan berkenaan dengan kewenangan untuk menentukan peraturan perundang-undangan yang mengikat warga negara dengan norma hukum yang mengikat dan membatasi. Selain itu, fungsi legislasi menyangkut beberapa kegiatan berikut juga, yaitu:

  1. Prakarsa pembuatan undang-undang (legislative initiation);
  2. Pembahasan rancangan undang-undang (law making process);
  3. Persetujuan atas pengesahan rancangan undang-undang (law enactment approval);
  4. Pemberian persetujuan pengikatan atau ratifikasi atau perjanjian atau persetujuan internasional dan dokumen-dokumen hukum yang mengikat lainnya. (Binding decision making on international agreement and treaties or other legal binding documents).[6]

Sementara itu fungsi pengawasan meliputi pengawasan pemerintahan (control of executive), pengawasan pengeluaran (control of expenditure), dan pengawasan pemungutan pajak (control of taxation). Fungsi-fungsi tersebut dapat dirinci lagi sehingga meliputi:

  1. Pengawasan terhadap penentuan kebijakan (control of policy making);
  2. Pengawasan terhadap pelaksanaan kebijakan (control of policy executing);
  3. Pengawasan terhadap penganggaran dan belanja negara (control of budgeting);
  4. Pengawasan terhadap pelaksanaan anggaran dan belanja negara (control of budget implementation);
  5. Pengawasan terhadap kinerja pemerintahan (control of government performances);
  6. Pengawasan terhadap pengangkatan pejabat publik (control of political appointment of public officials) dalam bentuk persetujuan atau penolakan atau pun dalam bentuk pemberian pertimbangan.[7]

Sedangkan fungsi representasi ada tiga, yaitu: Representasi politik (political representation; Representasi teritorial (territorial representation); dan Representasi fungsional (functional representation.)[8] Representasi politik adalah perwakilan melalui partai politik. Dalam perkembangan pilar partai politik ini dipandang tidak sempurna sehingga perlu dilengkapi dengan perwakilan daerah (regional representation) atau perwakilan teritorial (territorial representation).

Fungsi DPD

Beberapa gagasan dibalik kelahiran DPD adalah:[9] Pertama: Gagasan mengubah sistem perwakilan menjadi dua kamar (bicameral). DPD dan DPR digambarkan serupa dengan sistem perwakilan seperti di Amerika Serikat yang terdiri dari Senate sebagai perwakilan negara bagian dan House of Represen­tatives sebagai perwakilan seluruh rakyat. Di Amerika Serikat, kedua unsur perwakilan tersebut dinamakan Kongres (Congress) sebagai badan yang menjalankan kekuasaan legislatif. Dalam Pasal 1 ayat (1) UUD Amerika Serikat (1787) disebutkan: All legislative powers herein granted shall be vested in a Congress of the United States, which shall consist of a Senate and House of Representatives.

Kedua: Gagasan untuk meningkatkan keikutsertaan daerah terhadap jalannya politik dan pengelolaan negara. DPD merupakan badan sehari-hari yang turut serta menentukan dan mengawasi jalannya politik dan pengelolaan negara. Dengan demikian, DPD dapat pula dipandang sebagai koreksi atau penyempurnaan sistem Utusan Daerah di MPR menurut ketentuan Pasal 2 ayat (1) UUD 1945 sebelum perubahan.

Pasal 2 ayat (1) UUD 1945 sebelum perubahan berbunyi: “Majelis Permusyawaratan Rakyat terdiri atas anggota-anggota Dewan Perwakilan Rakyat ditambah dengan utusan-utusan dari daerah-daerah dan golongan-golongan, menurut aturan yang ditetapkan dengan undang-undang.” Dengan demikian di dalam MPR tiga unsur anggota, yaitu: (i) Anggota DPR sebagai perwakilan politik (political representatives), (ii) Utusan Daerah dari daerah provinsi (regional representatives), (iii) Utusan golongan yang berasal dari golongan fungsional (functional representatives).

Setelah Perubahan UUD 1945 bunyi Pasal 2 ayat (1) telah berubah menjadi sebagai berikut: “Majelis Permusyawaratab Rakyat terdiri atas anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Daerah yang dipilih melalui pemilihan umum dan diatur lebih lanjut dengan undang-undang.” Berdasarkan ketentuan baru ini unsur golongan fungsional tidak ada lagi.

Dalam UUD Amerika Serikat dan negara-negara dengan sistem dua kamar wewenang yang ditentukan adalah wewenang dari Congress, Parliament, Staten Generaal yang dilaksanakan oleh kamar-kamar perwakilan. Dalam Pasal 1 ayat (8) UUD Amerika Serikat diatur mengenai berbagai wewenang Kongres seperti menetapkan undang-undang mengenai pajak, cukai, peminjaman uang atas nama Amerika Serikat, perdagangan antar negara bagian dan luar negeri, kewarganegaraan, menetapkan mata uang, dan lain-lain.

Semua wewenang tersebut dilaksanakan (dikelola) oleh Senate dan House of Representatives dan dalam hal-hal tertentu diberikan wewenang khusus kepada masing-masing kamar, misalnya semua rancangan undang-undang mengenai pendapatan negara harus diusulkan (berasal dari) House of Representatives. Sedangkan Senate mempunyai wewenang khusus memberi pertimbangan dan persetujuan (advice and consent) mengenai perjanjian luar negeri, pengangkatan duta, konsul, menteri, hakim federal, dan pejabat-pejabat lain yang ditentukan dalam undang-undang.[10]

Dari ketentuan dalam UUD 1945 dan peraturan perundang-undangan lain[11] dapat diketahui bahwa DPD mempunyai fungsi legislasi, pertimbangan, dan pengawasan. Berdasarkan fungsi legislasi DPD dapat mengajukan rancangan undang-undang (RUU) kepada DPR dan ikut membahas RUU yang berkaitan dengan Otonomi daerah; Hubungan pusat dan daerah; Pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah; Pengelolaan sumberdaya alam dan sumberdaya ekonomi lainnya; Perimbangan keuangan pusat dan daerah.

Kemudian DPD memiliki fungsi pertimbangan dengan memberikan pertimbangan kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) atas RUU Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan RUU yang berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama.

Selain itu DPD dapat melakukan pengawasan atas pelaksanaan undang-undang mengenai: otonomi daerah, pembentukan, pemekaran dan penggabungan daerah, hubungan pusat dan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, pelaksanaan anggaran pendapatan dan belanja negara, pajak, pendidikan, dan agama serta menyampaikan hasil pengawasannya itu kepada Dewan Perwakilan Rakyat sebagai bahan pertimbangan untuk ditindaklanjuti.

Dari ketentuan di atas dapat dikatakan bahwa kewenangan DPD bersifat terbatas, misalnya fungsi legislatif yang dimiliki hanya memberikan pertimbangan kepada Dewan Perwakilan Rakyat sebagai pemegang kekuasaan legislatif yang sesungguhnya.[12] Selain itu, berkaitan dengan DPD sering digunakan kata “dapat”. Kata ‘dapat” mengandung arti bukan suatu keharusan atau kewajiban melainkan hanya kebolehan atau kemungkinan. Dengan kata lain sesungguhnya DPD tidak atau belum dapat dikategorikan sebagai badan legislatif karena tidak mempunyai kewenangan menentukan satu pun peraturan perundang-undangan sebagai ciri utama badan legislatif atau legislature.

Sebagai perbandingan dapat dilihat ketentuan dalam Konstitusi Republik Indonesia Serikat (KRIS). Pasal 127 KRIS menyatakan bahwa kekuasaan perundang-undangan federal, sesuai dengan ketentuan-ketentuan bagian ini, dilakukan oleh:

  1. Pemerintah, bersama-sama dengan Dewan Perwakilan Rakjat dan Senat, sekadar hal itu mengenai peraturan-peraturan tentang hal-hal jang chusus mengenai satu, beberapa atau semua daerah bagian atau bagian-bagiannja, ataupun jang chusus mengenai perhubungan antara Republik Indonesia Serikat dan daerah-daerah jang tersebut dalam pasal 2;
  2. Pemerintah bersama-sama dengan Dewan Perwakilan Rakjat, dalam seluruh lapangan pengaturan selebihnja.

Dari ketentuan di atas dapat diketahui ada dua macam pembentukan peraturan perundang-undangan, yaitu: Pembentukan oleh Pemerintah bersama-sama dengan Dewan Perwakilan Rakyat dan Senat serta pembentukan oleh Pemerintah bersama-sama dengan Dewan Perwakilan Rakyat saja. Dengan demikian menurut Sri Soemantri[13] suatu Undang-Undang Federal ditetapkan oleh Pemerintah bersama-sama dengan DPR dan Senat, apabila hal itu mengenai pengaturan masalah:

  1. Suatu daerah bagian.
  2. Beberapa daerah bagian.
  3. Semua daerah bagian, atau
  4. Bagian-bagiannya.
  5. Perhubungan antara Republik Indonesia Serikat dan daerah-daerah yang tersebut dalam Pasal 2 Konstitusi.

Dalam KRIS, baik DPR maupun Senat masing-masing mempunyai kewenangan yang berbeda satu sama lain. Baik DPR maupun Senat mempunyai kewenangan untuk menentukan peraturan perundang-undangan tertentu sehingga dapat dikategorikan sebagai badan legislatif atau legislature.

Kesimpulan dan Saran

Dari uraian yang telah disampaikan dapat diketahui bahwa DPD memang tidak atau belum dapat dikatakan sebagai legislature karena belum memiliki kewenangan menentukan pemberlakuan satu pun peraturan perundang-undangan. Oleh sebab itu, pada masa datang supaya DPD dapat lebih berperan perlu dilakukan pembagian kewenangan yang tegas, terutama antara DPR dan DPD sebagaimana diatur dalam Konstitusi Amerika Serikat atau KRIS yang membagi secara tegas kewenangan DPR dan Senat dalam pembuatan Undang-Undang Federal.

Selain itu, kata “dapat” yang banyak terdapat dalam UUD 1945 dan peraturan perundang-undangan lain tentang DPD harus dihilangkan. Sehubungan dengan itu, bunyi Pasal 22 D UUD 1945 harus diubah dengan terutama menghilangkan kata “dapat” sehingga berbunyi sebagai berikut:

(1) Dewan Perwakilan Daerah berhak mengajukan rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah kepada Dewan Perwakilan Rakyat untuk dibahas dengan Presiden dan disetujui bersama.

(2) Dewan Perwakilan Daerah membahas rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah; hubungan pusat dan daerah; pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah; pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah; rancangan undang-undang anggaran pendapatan dan belanja negara dan rancangan undang-undang yang berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama yang diajukan Dewan Perwakilan Rakyat atau Presiden untuk dibahas dan disetujui bersama .

DAFTAR PUSTAKA

Bagir Manan, DPR, DPD, dan MPR dalam UUD 1945 Baru, Yogyakarta: FH-UII Press, 2003

Eddy Purnama, Negara Kedaulatan Rakyat: Analisis Terhadap Sistem Pemerintahan Indonesia dan Perbandingannya dengan Negara-negara Lain, Bandung: Nusa Media & Imagine Press, 2007.

Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme, Jakarta: Mahkamah Konstitusi RI & Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakutas Hukum Universitas Indonesia, 2004.

__________, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Jilid II, Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2006.

___________, Pokok-pokok Hukum Tata Negara Indonesia, Jakarta: Bhuana Ilmu Populer, 2008.

Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2008.

Sri Soemantri, Tentang Lembaga-lembaga Negara Menurut UUD 1945, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1989.

Peraturan Perundang-undangan

Konstitusi Republik Indonesia Serikat

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2009 Tentang Majelis Permusyawaratn Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.


[1] Disampaikan dalam Diskusi Hukum yang diselenggarakan Dewan Pimpinan Cabang Perhimpunan Mahasiswa Hukum Medan (DPD PERMAHI Medan) di Medan pada tanggal 30 April 2011.

[2] Dosen Fakultas Hukum Universitas HKBP Nommensen (S.H.:Unpad, M.H.: UI, Dr.: Unpad)

[3] Jimly Asshidiqie, Pokok-pokok Hukum Tata Negara Indonesia, Jakarta: Bhuana Ilmu Populer, 2008, hlm.15.

[4] Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2008, hlm.315.

[5] Eddy Purnama, Negara Kedaulatan Rakyat: Analisis Terhadap Sistem Pemerintahan Indonesia dan Perbandingannya dengan Negara-negara Lain, Bandung: Nusa Media & Imagine Press, 2007, hlm.17.

[6] Jimly Asshidiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Jilid II, Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2006, hlm. 34.

[7] Jimly Asshidiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Jilid II, hlm.36.

[8] Jimly Asshidiqie, Pokok-pokok Hukum Tata Negara Indonesia, hlm.154.

[9] Bagir Manan, DPR, DPD, dan MPR dalam UUD 1945 Baru, Yogyakarta: FH-UII Press, 2003, hlm. 53.

[10] Bagir Manan, DPR, DPD, dan MPR dalam UUD 1945 Baru, Yogyakarta: FH-UII Press, 2003, hlm. 55.

[11]Lihat misalnya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2009 Tentang Majelis Permusyawaratn Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

[12] Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme, Jakarta: Mahkamah Konstitusi RI & Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakutas Hukum Universitas Indonesia, 2004, hlm.150.

[13] Sri Soemantri, Tentang Lembaga-lembaga Negara Menurut UUD 1945, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1989, hlm.62.

Pembentukan Peraturan Perundang-undangan

Pembentukan peraturan perundang-undangan termasuk hal yang harus diperhatikan dengan sungguh-sungguh di Indonesia mengingat negara ini telah secara tegas menyatakan diri sebagai negara hukum yang mengutamakan peraturan perundang-undangan.

Pada saat ini sudah ada peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang pembentukan peraturan perundang-undangan, yaitu Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

Rancangan Undang-Undang Pemilihan Umum

Tanggapan dan Kajian

Terhadap Rancangan Perubahan

Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 Tentang Pemilu DPR, DPD, dan DPRD[1]

Oleh:

Dr. Budiman N.P.D Sinaga,S.H.,M.H.[2]


A. Tanggapan/Kajian terhadap Rancangan Undang-Undang

Pasal

Rancangan Perubahan

Tanggapan/Kajian

Pasal 4 ayat (2) huruf a

Penyusunan peraturan pelaksanaan penyelenggaraan Pemilu.Pembentukan peraturan pelaksanaan penyelenggaraan Pemilu.

Pembentukan sudah meliputi penyusunan. (lihat Pasal 1 angka 1 UU No.12/2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan)

Pasal 4 ayat (4)

Pemungutan suara di luar negeri dapat dilaksanakan bersamaan atau sebelum pemungutan suara pada hari sebagaimana dimaksud pada ayat (3).

Pemungutan suara di luar negeri dapat dilaksanakan bersamaan atau setelah pemungutan suara pada hari sebagaimana dimaksud pada ayat (3).

Pemungutan suara yang dilaksanakan terlambat lebih masuk akal daripada dipercepat.

Pasal 8 ayat (1) huruf b:

Partai politik dapat menjadi Peserta Pemilu setelah memenuhi persyaratan:

b. Memiliki kepengurusan di seluruh provinsi;

Partai politik dapat menjadi Peserta Pemilu setelah memenuhi persyaratan:

b. Memiliki kepengurusan minimal di satu provinsi;

Ketentuan ini sesuai dengan kenyataan bahwa pada saat ini pun sudah banyak partai yang hanya ada di satu provinsi. Selain itu harus diberikan kesempatan pendirian partai oleh kaum minoritas dengan dasar yang sama dengan kaum mayoritas seperti partai yang berdasarkan agama. Dengan demikian tidak boleh ada ketentuan yang sejak semula sudah membatasi bahkan tidak memungkinkan pendirian partai dengan dasar agama tertentu. Jika hendak memperlakukan warga negara dengan sama maka seharusnya tidak perlu ada partai yang berdasarkan agama tertentu.

Pasal 8 ayat (2)

Partai Politik Peserta Pemilu pada Pemilu terakhir yang memenuhi ambang batas perolehan suara dari jumlah suara sah secara nasional ditetapkan sebagai Partai Politik Peserta Pemilu pada Pemilu berikutnya.Seharusnya ketentuan Pasal 8 ayat (2) tidak diubah melainkan harus dilaksanakan dulu.

Pasal 8 ayat (2)harus tetap berbunyi: Partai Politik Peserta Pemilu pada Pemilu sebelumnya dapat menjadi Peserta Pemilu pada Pemilu berikutnya.

Dalam Penjelasan ditegaskan bahwa Yang dimaksud dengan “Pemilu sebelumnya” adalah Pemilu Tahun 2009 dan selanjutnya.

Dengan kata lain ketentuan ini belum pernah dilaksanakan tetapi sudah akan diubah lagi. Apakah rancangan perubahan ini tidak akan mengurangi bahkan menghilangkan kepastian hukum dan/atau kepastian undang-undang? Jika DPR terbiasa mengubah ketentuan terlebih ketentuan yang belum pernah dilaksanakan maka dapat mengurangi kepercayaan masyarakat.

Pasal 16 ayat (7)Putusan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara sebagaimana dimaksud pada ayat (6) bersifat final dan mengikat.Ketentuan ini tidak sesuai dengan Pasal 24A ayat (1)UUD 1945 yang menyatakan Mahkamah Agung berwenang mengadili pada tingkat kasasi.

Berbeda dengan Mahkamah Konstitusi yang memang dalam Pasal 24C dinyatakan putusannya bersifat final.

Pasal 202 ayat (1) Tidak perlu ada ambang batas perolehan suara dari suara sah secara nasional untuk diikutkan dalam penentuan perolehan kursi DPR. Pengalaman Pemilu sebelumnya menunjukkan sangat banyak suara yang hilang. Upaya-upaya yang dilakukan untuk membatasi jumlah partai dengan cara-cara menggunakan jumlah sebagai kriteria utama seperti ini tidak sesuai dengan kenyataan bahwa di Indonesia terdapat beraneka “minoritas”. Seharusnya tidak ada peraturan perundang-undangan yang membatasi keanekaragaman. Ketentuan semacam ini tidak sesuai dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 36A UUD 1945.

  1. B. Tanggapan/Kajian di luar Rancangan Undang-Undang
    1. 1. Persyaratan Peserta Pemilu:

Perlu ditambahkan jangka waktu minimal berstatus sebagai badan hukum untuk menghindari partai-partai yang didirikan secara mendadak, seperti didirikan oleh anggota partai lain atau partai lama yang kalah dalam perebutan pimpinan partai. Saya mengusulkan jangka waktu minimal 5 (lima) tahun.

  1. 2. Pemilu untuk anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD):

Pasal 12 huruf n: “Dicalonkan hanya di 1 (satu) lembaga perwakilam”. Ketentuan ini tidak perlu.

  1. 3. Usulan Substansi Baru:

Perlu ada jangka waktu minimal bagi seseorang menjadi anggota Partai Politik Peserta Pemilu sebelum dapat menjadi bakal calon anggota DPR dan/atau DPRD. Saya mengusulkan jangka waktu minimal 5 (lima) tahun atau tidak menjadi bakal calon dari Partai Politik lain pada Pemilu terakhir. Dengan demikian dapat diharapkan seorang bakal calon sudah mengenal betul Partai Politik masing-masing sehingga tidak akan ada (lagi) bakal calon yang tidak mengenai Partai Politik-nya, bahkan sekedar kepanjangan dari singkatan nama partai politik. Ketentuan ini berlaku juga bagi bakal calon anggota DPD.


[1] Disampaikan pada pertemuan dengan Pansus Perubahan atas UU Nomor 10 tahun 2008 Tentang Pemilu DPR, DPD, dan DPRD bertempat di Universitas Sumatera Utara pada tanggal 18 Oktober 2011.

[2] Dosen Fakultas Hukum Universitas HKBP Nommensen. HP: 081314341229, E-mail: budiman_npds@yahoo.com

Selasa, 31 Januari 2012

Mengenal Hukum Indonesia

Sejak manusia lahir bahkan sebelum lahir hingga meninggal bahkan setelah meninggal senantiasa berkaitan dengan hukum. Oleh karena itu, pengenalan hukum bagi setiap orang merupakan kebutuhan yang tidak dapat dihindarkan. Dengan kata lain, mengenal hukum merupakan suatu keharusan yang tidak dapat dielakkan.